Tuesday, October 8, 2013

Pancasila sebagai Ideologi Terbuka

Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
  


1.      Pengertian dan Fungsi Ideologi
Nama ideologi berasal dari kata ideas dan logos. Idea berarti gagasan,konsep, sedangkan logos berarti ilmu. Pengertian ideologi secara umum adalah sekumpulan ide, gagasan, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan keagamaan.
Ciri-ciri ideologi adalah sebagai berikut :
1.      Mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan.
2.      Oleh karena itu, mewujudkan suatu asas kerohanian, pandanagn dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara diamalkan dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban.
Fungsi ideologi menurut beberapa pakar di bidangnya :
1.      Sebagai sarana untuk memformulasikan dan mengisi kehidupan manusia secara individual. (Cahyono, 1986)
2.      Sebagai jembatan pergeseran kendali kekuasaan dari generasi tua (founding fathers) dengan generasi muda. (Setiardja, 2001)
3.      Sebagai kekuatan yang mampu member semangat dan motivasi individu, masyarakat, dan bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan. (Hidayat, 2001)
II. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah Pancasila sebagai cita-cita negara atau cita-cita yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, serta menjadi tujuan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia.
Berdasarkan Tap. MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR tentang P4, ditegaskan bahwa Pancasila adalah dasar NKRI yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Makna dari ideologi terbuka adalah sebagai suatu sistem pemikiran terbuka.
Ciri-ciri ideologi terbuka dan ideologi tertutup adalah :
Ø  Ideologi Terbuka
a. merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat.
b. Berupa nilai-nilai dan cita-cita yang berasal dari dalam masyarakat sendiri.
c. Hasil musyawarah dan konsensus masyarakat.
d. Bersifat dinamis dan reformis.
Ø  Ideologi Tetutup
a. Bukan merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat.
b. Bukan berupa nilai dan cita-cita.
c. Kepercayaan dan kesetiaan ideologis yang kaku.
d. Terdiri atas tuntutan konkret dan operasional yang diajukan secara mutlak.
Menurut Kaelan, nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah sebagai berikut :
a) Nilai dasar, yaitu hakekat kelima sila Pancasila.
b) Nilai instrumental, yang merupakan arahan, kebijakan strategi, sasaran serta lembaga pelaksanaanya.
c) Nilai praktis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu realisasi pengamalan yang bersifat nyata, dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.
PERTANYAAN :
1) Mengapa Indonesia menggunakan ideologi terbuka?
2) Bagaimana cara menumbuhkan kadar dan idealism yang terkandung Pancasila sehingga mampu memberikan harapan optimisme dan motivasi untuk mewujudkan cita-cita?
JAWABAN :
1.      Karena Indonesia adalah sebuah negara dan sebuah negara memerlukan sebuah ideologi untuk menjalankan sistem pemerintahan yang ada pada negara tersebut, dan masing-masing negara berhak menentukan ideologi apa yang paling tepat untuk digunakan, dan di Indonesia yang paling tepat adalah digunakan adalah ideologi terbuka karena di Indonesia menganut sistem pemerintahan demokratis yang di dalamnya membebaskan setiap masyarakat untuk berpendapat dan melaksanakan sesuatu sesuai dengan keinginannya masing-masing. Maka dari itu, ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah yang paling tepat untuk digunakan oleh Indonesia.
2.      Kita harus menempatkan Pancasila dalam pengertian sebagai moral, jiwa, dan kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia keberadaanya/lahirnya bersamaan dengan adanya bangsa Indonesia. Selain itu,Pancasila juga berfungsi sebagai kepribadian bangsa Indonesia. Artinya, jiwa bangsa Indonesia mempunyai arti statis dan dinamis. Jiwa ini keluar diwujudkan dalam sikap mental, tingkah laku, dan amal perbuatan bangsa Indonesia yang pada akhirnya mempunyai cirri khas. Sehingga akan muncul dengan sendirinya harapan optimisme dan motivasi yang sangat berguna dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.
KESIMPULAN :
Jadi, setiap negara berhak dalam memilih sistem pemerintahannya sendiri, Indonesia juga pernah menerapkan beberapa sistem pemerintahan. Namun, yang paling cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia adalah ideologi terbuka karena sinkron dengan sistem pemerintahan yang demokratis yang menjamin kebebasan warga negaranya dalam mengeluarkan pendapat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 28.
P A N C A S I L A  
I d e o l o g i   T e r b u k a

Ideologi Pancasila Kuktur Politik Bangsa Indonesia:

Secara historis dapat dijelaskan, bahwa istilah “ideologi” adalah berasal dari sejarah Perancis ketika mengalami pencerahan, sebagai sebuah ilmu penge tahuan tentang hasil pemikiran atau idea manusia, artinya ideologi merupakan sebuah konsep ilmiah, yang mempergunakan racikan atau pola empirik maupun logika berfikir rasional. Ideologi dengan demikian sebagai bagian dari ilmu politik, yang mencoba mempersatukan usaha manusia yang bersifat politik bagi terben- tuk dan terselenggaranya pemerintahan yang dianggap baik dan benar.

Pada awal sejarahnya itu, ideologi dianggap sebagai alat politik yang membawakan pemikiran revolusioner untuk menghancurkan pemerintahan model lama dengan strukturnya yang dianggap tidak lagi sesuai dengan suasana baru yang demokratis. Tetapi istilah ideologi atau ideologues pernah mengalami konotasi negatif sebagai doktrin bukan bersifat ilmiah seperti awalnya yang bersifat destruktif, oleh pengaruh Revolusi Perancis. Hal ini sebagai pengakuan ahli politik Perancis : Antoine Revarol (1753-1801) yang mengatakan, bahwa ideologi telah berubah menjadi doktrin yang destruktif dan ini telah menjadi kenyataan sejarah bahkan sebagai doktrin yang berbahaya bagi tertib politik yang baik; ideologi menjadi idea yang berbahaya, karena ingin merobek-robek tiang-tiang dunia yang ada. Di Perancis pada zaman revolusi itu para pemuda dengan berteriak keras berusaha merobohkan semua rintangan yang ada, sekalipun dengan kekerasan, membawa panji-panji ideologi. Memang Revarol hidup di zaman berkecamuknya revolusi dahsyat.

Setelah itu, terbawa oleh revolusi modern di Inggris, ideologi memperoleh kembali arti aslinya yang rasional, yakni ketika kaum Liberal maupun Konservatif, ketika hendak menyerang sebuah doktrin yang mereka tidak sukai, mereka mengenakan senjata ideologi secara rasional, tidak seperti di Perancis. Dalam mengritik kaum sosialis misalnya, kaum Liberal menggunakan ideologi untuk memperbaiki masyarakat. Sebaliknya kaum Sosialis atau Marxis juga menempuh jalan yang sama, yakni menggunakan ideologi sebagai senjata untuk menghadapi lawan politik. Walaupun demikian sering kali sifat destruktif ideologi, sebagai yang disinyalir Antoine Revarol (bukunya, De la Philosophie Moderne”, Paris 1802) bisa muncul kembali kepermukaan, ketika situasi pertentangan memanas.

Seorang ahli politik dan sosiologi terkenal Robert Mac Iver, dalam bukunya “European Ideologies”, New York, Philosophical Library, 1948, memberikan definisi tentang ideologi sebagai berikut : “ a political and social ideology is a system of political, economic and social values and idea from which objectives are derived. These objectives from the nucleus of a political program” (bahwa ideologi politik dan sosial adalah sebuah sistem nilai dan pemikiran politik, ekonomi dan sosial, yang memunculkan sasaran-sasaran. Sedang sasaran-sasaran ini membentuk intisari sebuah program politik). Dengan pengertian itu, maka ideologi akan memunculkan serangkaian gagasan, berupa sasaran-sasaran yang dinamis yang bisa mempengaruhi bahkan membimbing masa depan harapan bisa menentukan nasib masa depan manusia banyak.  Definisi Mac Iver itu mengisyaratkan secara jelas bahwa ideologi hendaknya memiliki sifat mengatur atau “normatif”, berupa kaidah dasar, disamping  juga memiliki fungsi memberikan “ilham atau inspirasi” bagi pemilik ideologi serta sifat ideologi haruslah rasional dengan tata logika yang benar, tepat dan singkat.

Apabila kita hubungkan dengan Pancasila sebagai ideologi, maka terlihat relevansi yang begitu nyata, bahwa sebagai ideologi, maka Pancasila adalah sebuah alat politik bangsa Indonesia, untuk mencapai cita-citanya dalam penyelenggaraan “Negara Bangsa”, bukan sebagai doktrin yang destruktif sebagai keluhan Revarol, tetapi sebagai sebuah kaidah yang konstruktif, untuk menciptakan masa depan bangsa yang adil dan bahagia. Bila mengikuti definisi Mac Iver, maka jelas kiranya bahwa Pancasila memiliki dasar kebenaran, artinya berkarakteristik “normatif” sebagai dasar negara, memberikan “inspirasi atau ilham” terus-menerus sebagai pedoman bagi sebuah Weltanschaung manusia bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sedang prinsip pemikiran atau “ideas” yang dikandungnya jelas menggunakan “tertib logika yang rasional”, berarti open to any soiontific debate.

Seterusnya Pancasila sebagai ideologi mampu memberikan skema yang lengkap bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik, ekonomi maupun tertib keamanan, berarti sebuah gagasan yang bisa mengilhami usaha mencapai tujuan atau sasaran luhur manusia berbangsa dan bernegara secara lengkap. Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya apabila ideologi Pancasila adalah merupakan “kultur politik bangsa Indonesia”.

Untuk lebih jauh membahas mengenai konotasi ideologi politik, baiklah kita simak pendapat Profesor Samuel H. Beer, dalam bukunya yang berjudul “Patterns of Government”, New York 1958, dia membuat deskripsi tentang watak politik. Watak politik terlihat ketika sebuah masyarakat atau pemerintahan mengadakan aktivitas, mereka sebenarnya mempertontonkan sebuah “watak politik”, dan watak ini karena berlaku terus-menerus dalam jangka panjang, maka terbentuklah apa yang dinamakan “kultur politik”, yang menurut Beer, kultur ini memiliki tiga komponen penting, yakni (1) nilai, (2) kepercayaan dan (3) sikap.

Khusus mengenai (1) nilai, Beer membedakan antara (a) nilai prosedural dan (b) nilai tujuan. Ketika pemerintahan terbentuk atas dasar ideologi politik yang ada, maka otoritas pemerintahan dijalankan sesuai prosedur yang disepakati, dengan berpedoman kepada ideologi politik yang dimiliki, misalnya menjalankan prinsip-prinsip yang demokratis, membentuk lembaga-lembaga negara, menyelenggarakan Pemilu, dan sebagainya. Ini adalah “nilai prosedural”. Sedang “nilai tujuan” ialah berupa hasil pekerjaan yang dijalankan pemerintahan negara, misalnya terwujudnya masyarakat yang berkeadilan sosial serta berkemakmuran. Selanjutnya mengenai (2) kepercayaan, Beer menunjuk keinginan rakyat tentang jalannya ideologi politik atau ideologi politik dalam praktek kenegaraan. Beer membedakan antara “nilai” dengan “kepercayaan”, bahwa nilai politik adalah berbicara tentang apa “yang seharusnya” dijalankan atau diwujudkan, sedang kepercayaan politik adalah berbicara tentang apa adanya, bukannya What ought to be, tetapi What is saja.

Oleh sebab itu sebuah “kepercayaan politik” adalah sebuah gambaran tentang politik yang hidup dalam masyarakat, berupa adat-kebiasaan, agama, budaya, tingkah-laku dan seterusnya. Disini kiranya dapat menjelaskan sejarah, ketika Bung Karno mencoba menggali Pancasila dari bumi Indonesia, maka dia ketemukan dari lubuk hatinya rakyat Indonesia, yakni telah adanya (What is) prinsip-prinsip Pancasila, sehingga di sinilah letaknya Pancasila sebagai “kepercayaan atau keyakinan Politik” bangsa Indonesia. Ini apa adanya, dan sekaligus sebagai nilai yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan analisa Beer tersebut, maka ideologi Pancasila adalah sekaligus Nilai/Value dan Kepercayaan/Belief. Bisa dibandingkan dengan pendapat Bung Karno, bahwa Pancasila adalah landasan statis sekaligus Leidster dinamis.

Komponen (3) Sikap, menurut Beer sikap ini biasanya sentimentil atau emosional. Ini adalah bawah sadar masyarakat politik. Ujudnya seperti gunung es hanya tampak sedikit, sedang bagian terbesar tersimpan di bawah wadar. Dalam sikap politik banyak mengemukakan hal-hal yang bersifat peranan, misalnya sentimen nasionalisme, yang oleh dorongan ideologi politik bisa membara apabila tersinggung oleh sebuah kondisi yang menantang, jadi sifatnya sangat emosional. Namun sebenarnya disini sebagai ukuran apakah sebuah ideologi politik telah benar berakar dalam kehidupan masyarakat atau belum. Sikap sentimental yang besar terhadap nasionalisme yang sedang tersinggung adalah cermin langsung telah menebalnya kultur politik yang dibina oleh ideologi politik yang ada pada mereka. Sebaliknya tidak adanya reaksi sikap nasional yang emosional terhadap keterpurukan ideologi tersebut yang timbul dari masyarakat.

Apabila teori Profesor Beer benar, maka seharusnya Pancasila sebagai ideologi dan yang diharapkan menjadi kultur politik nasional itu berparameter “nilai prosedural maupun tujuan, kepercayaan politik dan sekaligus memiliki sikap sentimental yang tinggi”, sehingga tidak akan tergoyahkan oleh badai besar maupun yang bisa menimpa bangsa Indonesia, dari manapun datangnya serta kapanpun.


Pancasila Ideologi Terbuka

Nilai luhur yang terkandung dalam ideologi Pancasila tentunya perlu implementasi, yang menjalankan adalah seluruh rakyat warganegara, tanpa aktualisasi maka nilai tersebut tidak mempunyai arti apa-apa. Disinilah perlunya partisipasi, sedang partisipasi adalah dukungan nyata. Hal ini memerlukan keterbukaan antar warganegara sendiri, antara yang kebetulan menjadi penyelenggara negara maupun rakyat jelata, bahkan keterbukaan sistem politik nasional termasuk ideologi Pancasila sendiri. maka suatu keharusan adanya ideologi Pancasila yang terbuka. Masyarakat pluralistik memerlukan keterbukaan sistem, sehingga semua aspirasi mereka dapat tertampung.

          Sejarah perjalanan politik sendiri menunjukkan, bahwa sejak berkem- bangnya pemikiran demokrasi, orang telah mengembangkan keterbukaan di semua aspek kehidupan, lebih-lebih dalam bidang politik. Karakteristik keyakinan politik serta kultur politik modern menuntut adanya “perubahan yang terus menerus” bagi perbaikan hidup manusia. Idealisme kuno yang statis sudah lama ditinggalkan. Modernisme selalu berisi pemikiran-pemikiran untuk terus maju, kemudian disemua aspek hidup itu terus berkembang dalam tamansarinya perdamaian, kebebasan, keadilan, kesejahteraan dan ketentraman, dan menentang serta mengeliminasi semua bentuk kemiskinan, penindasan, kekerasan, kejahatan, penyakit dan ketidak tertiban.

          Ketika Marquis de Condorcet diguillotine dalam revolusi Perancis, dia lantang mengumandangkan perbaikan masyarakat untuk terus maju menuju “kesempurnaan” hidup. Condorcet meninggal, namun idea kemajuan telah dicatat sejarah. Condorcet yakin, bahwa manusia mampu untuk mencapai perbaikan hidup menuju kesempurnaan yang tidak terbatas, dengan kemampuan reason yang dimiliki manusia. Di kalangan umat Nasrani, dalam memasuki zaman modern dan industri, dikembangkan apa yang dinamakan “Work Ethics” atau etika kerja keras untuk mencapai kesejahteraan yang maksimal di bumi yang telah diberikan Tuhan bagi manusia. Juga umat Islam dianjurkan oleh agamanya untuk : Merubah suatu ni’mat yang telah dianugerahkan-Nya (Allah) kepada sesuatu bangsa, sehingga bangsa itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri” (Surat Al-Anfal 53).

          Sila-sila dalam Pancasila bisa tetap sebagai landasan statis, namun dalam menuju nilai tujuan, ideologi Pancasila akan tetap terbuka untuk mencapai sasaran-sasaran yang dinamis. Tuhan sebagai Maha Pencipta alam semesta saja membebaskan manusia untuk merubah dan memperbaiki sikapnya di dunia untuk merubah ni’mat Tuhan kepada posisi yang lebih baik. Maka Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah terbuka bagi pemahaman yang konstruktif untuk mencapai nilai tujuan yang diciptakan bersama.
  
          Sebagai landasan statis, sebagai istilah Bung Karno, maka sila-sila dalam Pancasila pun dapat dibahas terbuka secara ilmiah, seperti yang pernah dikemukakan Prof. Notonegoro dari Universitas Gajah Mada dan pakar-pakar lainnya secara akademik. Namun sila-sila tersebut nyatanya telah teruji secara sejarah akan authentisitasnya bersumber dari rakyat, yang dalam istilah Prof. Beer sebagai “Political Belief”, maka ideologi politik adalah realitas apa adanya (what is), ini berarti tetap terbuka juga untuk penyelidikan ilmiah kapan saja. Pendapat Beer ini kelihatan juga tidak jauh dari pandangan pendekar demokrasi liberal John Locke, ketika mengemukakan prinsip-prinsip ideologis demokrasi liberalnya, bahwa prinsip itu telah menjadi hukum alam yang tetap, namun kapanpun orang bisa berdebat tentang itu. Oleh karena itu, Pancasila sebagai ideologi, baik dilihat dari sandaran “Landasan Statis” maupun sasaran “Leidster dinamis”, akan tetap terbuka bagi pembahasan yang mendalam atau deliberatif. Dalam keterbukaan itu orang tidak perlu menakutkan timbulnya kondisi akan melemahkan posisi maupun eksistensi ideologi bangsa, akan tetapi justru sebaliknya akan menemukan penguatan kondisi maupun eksistensinya, sebab sekali lagi sebagai sebuah kultur yang telah memiliki label political belief, eksistensinya tidak perlu diragukan lagi.

          Mungkin perlu sekali lagi kita mendengar pendapat filosuf politik humanitarian Marquis de Condorcet (1743-1794) yang banyak berpengaruh ketika ideologi politik sedang banyak diluncurkan di Europa, bahwa manusia akan tetap selalu menuju kearah “Perfektibilitas”, oleh sebab itu sebuah ideologi politik harus terbuka untuk menuju ke sana. Perfektibilitas harus dicapai melalui perjuangan politik, sedang perjuangan untuk pencapaian usaha perbaikan intellektual, perbaikan moral dan kemampuan fisik, dengan intensifikasi pendidikan di semua lapisan penduduk.

          Bagi masa depan bangsa dan negara, maka tidak ada ruang lain bagi ideologi Pancasila kecuali tetap membuka diri sebagai ideologi terbuka.

 leninisme
selama ini orang menganggap bahwa Marxisme-Leninisme atau lebih mudahnya komunisme, berada dalam hubungan diametral dengan Islam. Banyak faktor pendorong kepada tumbuhnya anggapan seperti itu. Secara politis, umpamanya dalam sejarah yang belum sampai satu abad. Marxisme-Leninisme telah terlibat dalam pertentangan tak kunjung selesai dengan negara-negara (dalam artian pemerintahan negara bangsa atau nation state), bangsa-bangsa, dan kelompok-kelompok muslim di seluruh dunia.
Dalam Peristiwa Madiun, 1948, umpamanya, kaum muslimin Indonesia berdiri berhadapan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dua alasan. Pertama, karena PKI di bawah pimpinan Muso berusaha menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia yang didirikan oleh bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kedua, karena banyak pemuka agama Islam dan ulama yang terbunuh, seperti kalangan pengasuh Pesantren Takeran yang hanya terletak beberapa kilometer di luar kota Madiun sendiri. Kiaya Mursyid dan sesama kiai pesantren tersebut hingga saat ini belum diketahui di mana dikuburkan.
Percaturan geo-politik saat ini pun menghadapkan Uni Soviet, kubu pertama paham Marxisme-Leninisme kepada Dunia Islam, karena pendudukannya atas bangsa muslim Afghanistan semenjak beberapa tahun lalu. Selain itu, secvara ideologis, Marxisme-Leninisme juga tidak mungkin dipertemukan dengan Islam. Marxisme-Leninisme adalah doktrin politik yang dilandaskan pada filsafat materialisme. Sedangkan Islam betapa pun adalah sebuah agama yang betapa praktisnya, sekalipun dalam urusan keduniaan, masih harus mendasarkan dirinya pada spiritualisme dan kepercayaan akan sesuatu yang secara empiris sudah tentu tidak dapat dibuktikan.
Apalagi Marxisme-Leninisme adalah pengembangan ekstrem dari filsafat Karl Marx yang justru menganggap agama sebagai opium (candu) yang akan melupakan rakyat dari perjuangan strukturalnya untuk merebut alat-alat produksi dari tangan kaum kapitalis. Demikian pula dari skema penataan Marxisme-Leninisme atas masyarakat, Islam sebagai agama harus diperlakukan sebagai super struktur yang dibasmi, karena “merupakan bagian dari jaringan kekuasaan reaksioner yang menunjang kapitalisme”, walaupun dalam dirinya ia mengandung unsur-unsur antikapitalisme.
Atau dengan kata lain, yang menjadi bagian inti dari doktrin Marxisme-Leninisme, Islam adalah “bagian dari kontradiksi internal kapitalisme”. Dialektika paham tersebut memandang pertentangan antara Islam dan kapitalisme hanya sebagai pertentangan subsider dalam pola umum pertentangan antara kaum proletar melawan struktur kapitalisme yang didirikan oleh kaum feodal.
Sebuah asoek lain dari pertentangan ideologis antara Islam dan Marxisme-Leninisme dapat dilihat pada fungsi kemasyarakatan masing-masing. Dalam kerangka ini, Marxisme-Leninisme berusaha mengatur kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh atas wawasan-wawasan rasional belaka, sedangkan Islam justru menolak sekulerisme seperti itu.
Menurut ajaran formal Islam, pengaturan kehidupan bermasyarakat harus diselaraskan dengan semua ketentuan-ketentuan wahyu yang datang dari Allah. Pengaturan hidup secara revelational (walaupun memiliki wawasan pragmatis dan rasionalnya sendiri untuk dapat menampung aspirasi kehidupan nyata), bagaimanapun juga tidak mungkin akan berdamai sepenuhnya dengan gagasan pengaturan masyarakat secara rasional sepenuhnya.
Tidak heranlah jika pengelompokan politik dan sosial budaya yang memunculkan apa yang dinamai “golongan Islam” juga menggunakan pola penghadapan dalam meletakkan Marxisme-Leninisme dalam hubungannya dengan Islam. Seperti dalam forum yang melawan dan menentangnya.
Forum-forum formal Islam sendiri juga demikian, senantiasa meletakkan Marxisme-Leninisme dalam hubungannya dengan Islam. Seperti dalam forum yang melawan dan menentangya.
Forum-forum formal Islam sendiri juga demikian, senantiasa meletakkan Marxisme-Leninisme dalam kategori “ideologi lawan”. Atau dalam jargon Rabithah al-Alam al-Islami/Islamic Word Association) yang berkedudukan di Makkah, “ideologi yang menentang Islam (al-fahm al-mudhadli al-islami).” Dalam forum-forum resmi internasional di kalangan kaum muslimin, Marxisme-Leninisme dalam “baju” komunisme secara rutin dimasukkan ke dalam paham-paham yang harus ditolak secara tuntas.
Sikap demikian dapat juga dilihat pada karya-karya tulis para pemikir, ideolog, dan budayawan yang menjadikan Islam sebagai kerangka acuan dasar untuk menata kehidupan (dalam arti tidak harus dalam bentuk negara theokratis atau secara ideologis formal dalam kehidupan negara, tetapi sebagai semangat pengatur kehidupan). Para penulis “pandangan Islam” itu memberikan porsi panjang lebar kepada penolakan atas ideolgi dan paham Marxisme-Leninisme dalam karya-karya mereka.
Penolakan ini antara lain berupa sikap mengambil bentuk peletakan “pandangan Islam” sebagai jalan tengah antara kapitalisme dan komunisme atau menurut istilah Mustofa al-Siba’I, antara kapitalisem dan sosialisme.menurut pandangan mereka, kapitaisme akan membawa bencana karena terlalu mementingkan kepentingan perorangan warga masyarakat, karena sandarannya kepada inividualisme. Sedangkan kolektivisme yang menjadi ajaran Marxisme, diserap oleh Marxisme-Leninisme, justru akan menghilangkan hak-hak sah dari individu yang menjadi warga masyarakat. Islam menurut mereka memberikan pemecahan dengan jalan menyeimbangkan antara “hak-hak masyarakat” dan “hak-hak individu”.
Melihat pola hubungan diametral seperti itu memang mengherankan. Bahwa masih saja ada kelompok-kelompok Marxis-Leninis dalam masing-masing lingkungan bangsa muslim mana pun di seluruh dunia. Bahkan di kalangan minoritas muslim di negara yang mayoritas penduduknya beragama bukan Islam, seperti Sri-Lanka, Filipina. Bukan karena adanya orang-orang yang berpaham Marxis-Leninis. Karena memang mereka ada di mana-mana.
Tambahan pula, keadaan masyarakat bangsa-bangsa yang memiliki penduduk beragama Islam dalam jumlah besar memang membuat subur pertumbuhan paham itu. Secara teoritis, karena besarnya kesenjangan antara teori kemasyarakatan yang terlalu meuluk-muluk yang ditawarkan dan kenyataan menyedihkan akan meluaskan kemiskinan dan kebodohan. Yang menarik justru kenyataan bahwa oleh pemerintah negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, (kecuali sudah tentu di Indonesia. Kalaupun dilarang, maka bukan karena paham itu sendiri tidak dibarkan secara hukum neagara, melainkan karena di lingkunagn bangsa itu tidak diperkenankan adanya gerakan politik dari rakyat sama sekali, seperti Arab Saudi saat ini.
Yang lebih menarik lagi justru adalah terus-menerus adanya upaya untuk meramu ajaran Islam kepada atau dengan paham-paham lain, termasuk Marxisem. Seperti yang saat ini dilakukan dengan giatnya oleh Muammar Khadafi, pemimpin Lybia yang berperilaku eksentrik itu. Ternyata upaya tersebut tidak terbatas pada “penggalian” konsep konsep Marx yang nonkomunistis saja, tetapi juga mencapai “pengambilan” dari Marxisme-leninisme.
Secara formal, paham tersebut di larang di Lybia. Tetapi secara faktual banyak unsur-unsur Marxisme-Leninisme ke dalam doktrin politik Khadafi. Umpanya saja, pengertian “kelompok yang memelopori revolusi,’ yang jelas berasal dari konsep Lenin tentang pengalihan pemerintah dari kekuasaan kapitalisme (tidak harus yang berwatak finansial-industri, tetapi cukup yang masih berwatak agraris belaka). Demikian juga konsep “pimpinan revolusi”, yang dicanangkan sebagai “dewan-dewan rakyat” (al-jamariyah) sebagai satu-satunya kekuatan “pengawan revolusi” dari kemunkginan direbut kembali oleh kapitalisme internasional.
Fenomena upaya meramu unsur Marxisme-Leninisme ke dalam teori politik yang ditawarkan sebagai “ideolgoi Islam” sangat menarik untuk dikaji, karena bagaimanapun ia mengandung dua spek. Pertama, ia tidak terbatas pada kalangan eksentrik seperti Khadafi, tetapi juga di kalangan sujumlah pemikir muslim serius, semisal Abdel Malek be beNabi dan Ali Syari’ati. Saat ini pun, gerakan Mojaheddin eKhalq yang bergerak di bawah tanah di Iran dan dipimpin oleh Masoud Rajavi dari Paris, menggunakan analisis perjuangan kelas yang mengikuti acuan Marxisme-Leninisem. Kedua, kenyataan bahwa upaya “meramu” tersebut sampai hariu ini masih mampu mempertahankan warna agamanya yang kuat. Bukan proses akulturasi yang muncul, di mana Islam dilemahkan, melainkan sebaliknya, terjadi penguatan ajaran-ajarannya melalui “penyerapan sebagai alat analisis”.
Keseluruhan yang dibentangkan di atas menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam danMarxisme-Leninisme, yang akan membawa kepada pemahaman yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebnagai ajaran kemasyarakat dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik.
Pemahaman dan pengertian seperti itu akan memungkinkan antisipasi terhadap peluang bagi terjadinya “titik sambung” keduanya dinegeri ini. Antisipasi mana dapat saja digunakan, baik untuk mencegahnya maupun mendorong kehadirannya.
Salah satu cara untuk melihat titik-titik persamaan antara Islam dan Marxisme Leninisme, keduanya sebagai semacam “ajarab kemasyarakatan” (untuk meminjam istilah yang populer saat ini di kalangan sejumlah theolog Katolik yang menghendaki perubahan struktural secara mendasar) adalah menggunakan pendekatan yang disebut sebagai vocabularies of motive (keragaman motif) oleh Bryan Turner dalam bukunya yang terkenal, Weber and islam (hlm. 142).
Menurut pendekatan in, tidak ada satu pun motif tunggal dapat diaplikasikan secara memuaskan bagi keseluruhan perilaku kaum muslimin sepanjang sejarah mereka. Kecenderungan “agama” seperti tasawuf (mistisisme), syariat (legal-formalisme), dan akhlak (etika sosial), dalam hubungannya dengan kecenderungan “ekonomis”, seperti semangat dengan etos kerja agraris, pola kemiliteran dan asktisme politis, ternyata menampilkan banyak kemungkinan motivatif bagi perilaku kaum muslimin itu. Walaupun pendekatan itu oleh Turner dipakai justru untuk mencoba melakukan pembuktian atas kaitan antara Islam dan kapitalisme, bagimanapun juga penggunaannya sebagai alat untuk meneliti kaitan antara Islam Marxisme-Leninisme akan membuahkan hasil kajian yang diharapkan.
Umpamanya saja, pendekatan ini dapat mengungkapkan adanya kesamaan orientasi antara pandangan kemasyarakatan Marxisme-Leninisme yang bersumber pada kolektivisme dan tradisi kesederhanaan hierarki dalam masyarakat suku yang membenntuk masyarakat Islam yang pertama di Madinah di zaman Nabi Muhammad.
Kesamaan orientasi tersebut dapat dilihat pada besarnya semangat egalitarianisme dan populisme dalam kedua sistem kehidupan itu. Orientasi kehidupan seperti itu mau tidak mau akan membawa sikap untuk cenderung menyusun pola kehidupan serba senang kepada tindakan (action-oriented), dan menjauhi kecenderungan kontemplatif dan meditatif.
Orientasi kepada tindakan ini demikian kuat terlihat dalam kehidupan masyarakat Islam, sehingga keimanan dan tuntasnya keterlibatan kepada ajaran agama (dikenal dengan nama Rukun Islam) sepenuhnya diidentifisir dengan “tindakan”. Dari syahadat (pengakuan akan keesaan Allah dan kerasulan Muhammad), salat, zakat, puasa, hingga kewajiban menjalankan peribadatan haji.
Walaupun Marxisme bersandar pada ajaran determinisme-materialistik (dalam jargon sosialisme dikenal dengan nama historis-materialisme), dan dengan demikian Marxisme-Leninisme mendasarkan idiologinya sampai titik tertentu pada acuan tersebut, tetapi orientasinya kepada “sikap aksional” tetap tampak sangat nyata. Justru acuan deterministik yang mendorong kaum Marxis termasuk Marxis-Leninis, untuk mempersoalkan struktur kekuasaan dan tindakan terprogram dalam memperjuangkan dan kemudian melestarikan struktur masyarakat yang mereka anggap sebagai bangunan kehidupan yang adil.
Orientasi inilah yang “menghubungkan” antara Islam dan Marxisme-Leninisme, menurut versi pikiran orang-orang seperti Khadafi dan Masoud Rajavi. Walaupun secara prinsipiil mereka menentang komunisme sebgai ideologi dan memenjarakan pemimpin-pemimpin komunis serta melawan mereka dalam bentrokan-bentrokan fisik.
Berbeda dengan mendiang Jamal Abdul Nasser dari Mesir, yang berideologi sosialistik dan sedikit banyak dapat mentolerir kehadiran pemimpin-pemimpin komunis, seperti Mustafa Agha di negerinya, walupun sering juga ditahan kalau ternyata masih melakukan aktivitas yang dinilainya subversif. Sikap Nasser ini juga diikuti oleh kedua rezim sosialis Ba’ath (kebangunan) yang berkuasa di Irak dan Syiria sekarang ini.

Sebuah perkecualian menarik dalam hal ini, karena perbedaan ideologis yang ada dapat “dijembatani” oleh kesamaan orientasi di atas adalah kasus Parta Tudeh di Iran. Pertai yang nyata-nyata berideologi Marxis-Leninis itu ternyata hingga saat ini masih dibirakan hidup oleh rezim revolusi Islam di Iran, walaupun gerakan gerilya Fedayen E-Khalq yang juga Marxis-Leninis justru ditumpas dan dikejar-kejar.
Ternyata kesamaan orientasi populistik dan egalitarian anatara ideologi Islam dan Marxis-Leninisme dihadapan lawan bersama imperialisme Amerika Serikat menurut jargon mereka, mengandung juga beneh-benih kontradiksi interen antara kaum mula dan kaum Marxis-Leninis Iran, selama yang terakhir ini tidak mengusik-usik kekuasaan Partai Republik Islam, selam itu pula mereka ditolerir.
Dari sudut pandangan ini, sikap kaum muslimin Indonesia yang menolak kehadiran Marxisme-Leninisme melalui ketetapan MPR adalah sebuah anomali, yang hanya dapat diterangkan dari kenyataan bahwa telah dua kali mereka dikhianati oleh kaum komunis di tahun 1948 dan 1965. Penolakan dengan demikian berwatak politis, bukannya ideologis.
Hal ini menjadi lebih jelas, jika diingat bahwa kaum muslimin Indoesia sudah tidak lagi memiliki aspirasi mereka sendiri di bidang ideologi, tetapi meleburkannya ke dalam ideologi “umum” bangsa, Pancasila.
Kenyataan seperi ini memang jarang dimengerti, karena tinjauan yang dilakukan selama ini atas hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme sering sekali bersifat dangkal, melihat persoalannya dari satu sisi pandangan saja, itu pn yang bersifat sangat formal. Wajar sekali kalau kaitan dengan Marxisme-Leninisme tidak diakui secara formal di kalangan gerakan-gerakan Islam, tetapi diterima dalam praktek. Seperti wajarnya”garis [partai” yang menolak kehadiran agama di negara-negara komunis, tetapi dalam praktek diberikan hakmelakukan kegiatan serba terbatas.
Melihat kenyataan di atas, menjadi nyata bagi mereka yang ingin melakukan tinjauan mendalam atas Maexisme-Leninisme dari sudut pandangan Islam. Bahwa harus dilakukan pemisahan antara sikap Islam yang dirumuska dalam ajaran resmi keagamaannya dan “sikap Islam” yang tampil dalam kenyataan yang hidup dalam bidang politik dan pemahaman secara umum.
Banyak pertimbangan lain yang mempengaruhi hubungan antara Islam dan Marxisme-Leninisme dalam praktek, sehingga tidak dapat begitu saja digeneralisasi tanpa mengakibatkan penarikan kesimpulan yang salah. Demikian juga, dalam melihat kaitan dalam praktek kehidupan pemeintahan, tidaklah cukup kaitan itu sendiri diidentifikasikan sebagai sesuatu yang sumir dan berdasarkan kebutuhan taktis belaka, seperi yang disangkakan pihak Amerika Serikat atas hubungan Khadafy dan Uni Soviet. Karena sebenarnya yang terjadi adalah proses saling mengambil antara dua ideologi besar, tanpa salah satu harus mengalah terhadap yang lain. Betapa tidak permanennya hubungan itu sekalian, karena keharusan tidak boleh mangalah kepada ideologi lain, kaitan antara Islam dan Marisme-Leninisme memiliki dimensi ideologinya sendiri. Yaitu kesamaan sangat besar dalam orientasi perjuangan masing-masing.
Kalau diproyeksikan terlebih jauh ke masa depan, bahkan akan muncul varian lain dari pola hubungan yang telah ada itu. Yaitu dalam hasil akhir ideologis dari upaya yang sedang dilakukan sejumlah intelektual muslim untuk mendalami sumber-sumber ajaran Islam melalui analisis pertentangan kelas yang menjadi “merek dagang” Maxisme-Leninisme
Ayat-ayat Al-Qur’an, ucapan nabi dalam hadits dan penjelasan ulama dalam karya-karya mereka diperiksa kembali “wawasan kelas”-nya, digunakan sudut pandangan sosial-historis untuk melakukan penfsiran kembali atas “pemahaman salah” akan sumber-sumber ajaran agama itu.
Zakat sebagai salah satu Rukun Islam, umpamanya, dilihat secara kritis sebagai alat populistik untuk menata orientasi kemasyarakat kaum muslimin dalam pengertian struktural. Lembaga tersebut diwahyukan dengan beban terbesar atas penyelenggaraan hidup bermasyarakat pada pundak lapangan pertanian sebagai profesi kaum elite Madinah waktu itu (karena membutuhkan masukan modal sangat besar, tidak seperti usaha dagang kecil-kecilan di pasar yang menjadi kerja utama kebanyakan penduduk Madinah). Pendekatan struktural dalam menafsirkan kembali ajaran agama itu bagaiamanapun akan membawa kepada kesadaran akan pentingnya analisis perjuangan kelas untuk menegakkan struktur masyarakat yang benar-benar adil dalam pandangan Islam.
Di pihak lain, semakin berkembangnya pemahaman “humanis” atas Marxisme-Leninisme, seperti dilakukan Partai Komunis Itali dewasa ini akan membawa apresiasi lebih dalam lagi tentang pentingnya wwaasan keagamaan ditampung dalam perjuangan kaum Marxis-Leninis untuk menumbangkan struktur kapitalis secara global.
Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh sejumlah teoritisi Marxis-Leninis sejak dasawarsa tigapuluhan dari abad ini, semisal Gramsci. Sudah tentu akan muncul aspek kesamaan orientasi kemasyarakatan antara Islam dan Marxisme-Leninisme dengan dilakukan kajian-kajian di atas yang antara lain sedang dilakukan oleh Mohammad Arkoun dan Ali Merad, yang dua-duanya kini tinggal di Delik Ideologi Bisa Diterapkan dengan Persyaratan Ketat Konsultasi Publik RUU KUHP
[5/7/07] Yang dikriminalisasi mestinya bukan pada penyebaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, tetapi pada ideologi apapun yang melegalkan kekerasan.
Konsultasi Publik RUU KUHP hari pertama membahas antara lain tindak pidana yang menyangkut ideologi. Dalam konsultasi publik itu terungkap bahwa tadinya KUHP Belanda tidak mengenal delik ideologi. Tetapi kemudian setelah KUHP diberlakukan di Indonesia, delik-delik semacam itu muncul. Sebagai konsekuensi TAP No. XXV/MPRS/1966, tim perumus awal RUU KUHP kembali mempertahankan delik idelogi. Bahkan berlanjut ke rumusan RUU KUHP pasca reformasi sebagai konsekuensi TAP No. XVIII/MPR/1998 tentang Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara.

Delik ideologi masuk kategori tindak pidana terhadap keamanan negara. Kejahatan terhadap ideologi dalam RUU KUHP dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme (pasal 212-213), serta peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila (pasal 214).

Menurut Fajromei A. Ghofar, secara umum rumusan pasal-pasal kejahatan terhadap ideologi masih memiliki sejumlah hal yang perlu dikritisi. Misalnya perumusan pasal, akibat buruknya terhadap hak asasi manusia, dan pengertian dari istilah yang dipakai. “Perumusan pasal 212-213 RUU KUHP masih ambigu,” ujarnya.

Ambigu yang dimaksud Ghofar adalah kesamaran mengenai apa sebenarnya yang dilarang. Kedua pasal melarang penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme – Leninisme yang menggantikan atau mengubah Pancasila. Sebenarnya yang dilarang apakah penyebaran ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme atau tindakan mengubah Pancasila? “Secara kasat mata, perumusan pasal tersebut dapat diartikan bahwa mengembangkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme tidaklah merupakan perbuatan yang dilarang jika tidak ditujukan untuk mengubah Pancasila,” kata Ghofar.

Pakar hukum pidana Prof. Andi Hamzah menimpali, tak semua penyebaran ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme dilarang. “Seorang dosen yang mengajarkan teori Karl Marx, misalnya teori dialektika, tidak termasuk melakukan delik,” ujarnya.

Untuk masuk kategori delik atau tindak pidana, penyebaran itu harus bersifat ‘melawan hukum’  dan ‘dilakukan di muka umum’ (in openbaar). Masih belum cukup, unsur lain yang dinilai Prof. Andi sebagai inti delik adalah “dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara’. Dengan unsur yang ketat seperti itu, Prof. Andi menyimpulkan bahwa rumusan delik larangan penyebaran komunisme/Marxisme-leninisme dalam RUU KUHP sesungguhnya sangat dibatasi. “Delik ideologi dapat saja diterapkan dengan unsur atau bagian inti yang sangat ketat,” ujar Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti itu.

Namun Ghofar masih mengkritik sifat unsur melawan hukum dalam pasal 212, terutama mengenai arti dan syarat-syaratnya. Perbuatan menyebarkan komunisme bagaimana yang disebut melawan hukum? Lalu, apakah semua ajaran Marxisme – Leninisme dilarang atau hanya bagian tertentu? Karena itu, Ghofar masih khawatir delik ideologi dalam RUU KUHP akan menjadi pasal karet.

Kritik lain datang dari Abdul Hakim Garuda Nusantara. Ketua Komnas HAM ini menilai RUU KUHP dalam konteks delik ideologi ‘tidak tanggap terhadap tanda-tanda zaman’. Salah satunya, ya, pelarangan komunisme/Marxisme-Leninisme. Semangat yang harusnya dibangun adalah mengkriminalisasi ideologi apapun –tidak terbatas pada Marxisme-Leninisme—yang membenarkan cara-cara kekerasan untuk menempuh sesuatu. Kejahatan terhadap keamanan negara bukan hanya datang dari ideologi semacam itu, tetapi juga bisa dari ideologi lain yang menyebarkan kekerasan. Seharusnya konsep kekerasannya yang harus dikriminalisasi.


No comments:

Post a Comment