Pancasila
sebagai Ideologi Terbuka
1.
Pengertian dan Fungsi Ideologi
Nama ideologi berasal dari kata ideas dan logos. Idea
berarti gagasan,konsep, sedangkan logos berarti ilmu. Pengertian ideologi
secara umum adalah sekumpulan ide, gagasan, keyakinan, kepercayaan yang
menyeluruh dan sistematis dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan
keagamaan.
Ciri-ciri ideologi adalah sebagai berikut :
1. Mempunyai derajat yang tertinggi
sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan.
2. Oleh karena itu, mewujudkan suatu
asas kerohanian, pandanagn dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan
hidup yang dipelihara diamalkan dilestarikan kepada generasi berikutnya,
diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban.
Fungsi ideologi menurut beberapa pakar di bidangnya :
1. Sebagai sarana untuk memformulasikan
dan mengisi kehidupan manusia secara individual. (Cahyono, 1986)
2. Sebagai jembatan pergeseran kendali
kekuasaan dari generasi tua (founding fathers) dengan generasi muda. (Setiardja,
2001)
3. Sebagai kekuatan yang mampu member
semangat dan motivasi individu, masyarakat, dan bangsa untuk menjalani
kehidupan dalam mencapai tujuan. (Hidayat, 2001)
II. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
Pancasila sebagai ideologi bangsa
adalah Pancasila sebagai cita-cita negara atau cita-cita yang menjadi basis
bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa
Indonesia, serta menjadi tujuan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia.
Berdasarkan Tap. MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan
Ketetapan MPR tentang P4, ditegaskan bahwa Pancasila adalah dasar NKRI yang
harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Makna dari ideologi terbuka adalah sebagai suatu sistem
pemikiran terbuka.
Ciri-ciri ideologi terbuka dan ideologi tertutup adalah :
Ø Ideologi Terbuka
a. merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat.
b. Berupa nilai-nilai dan cita-cita yang berasal dari dalam
masyarakat sendiri.
c. Hasil musyawarah dan konsensus masyarakat.
d. Bersifat dinamis dan reformis.
Ø Ideologi Tetutup
a. Bukan merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam
masyarakat.
b. Bukan berupa nilai dan cita-cita.
c. Kepercayaan dan kesetiaan ideologis yang kaku.
d. Terdiri atas tuntutan konkret dan operasional yang
diajukan secara mutlak.
Menurut Kaelan, nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi
Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah sebagai berikut :
a) Nilai dasar, yaitu hakekat kelima sila Pancasila.
b) Nilai instrumental, yang merupakan arahan, kebijakan strategi,
sasaran serta lembaga pelaksanaanya.
c) Nilai praktis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai
instrumental dalam suatu realisasi pengamalan yang bersifat nyata, dalam
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.
PERTANYAAN :
1) Mengapa Indonesia menggunakan ideologi terbuka?
2) Bagaimana cara menumbuhkan kadar dan idealism yang
terkandung Pancasila sehingga mampu memberikan harapan optimisme dan motivasi
untuk mewujudkan cita-cita?
JAWABAN :
1. Karena Indonesia adalah sebuah
negara dan sebuah negara memerlukan sebuah ideologi untuk menjalankan sistem
pemerintahan yang ada pada negara tersebut, dan masing-masing negara berhak
menentukan ideologi apa yang paling tepat untuk digunakan, dan di Indonesia
yang paling tepat adalah digunakan adalah ideologi terbuka karena di Indonesia
menganut sistem pemerintahan demokratis yang di dalamnya membebaskan setiap
masyarakat untuk berpendapat dan melaksanakan sesuatu sesuai dengan
keinginannya masing-masing. Maka dari itu, ideologi Pancasila sebagai ideologi
terbuka adalah yang paling tepat untuk digunakan oleh Indonesia.
2. Kita harus menempatkan Pancasila
dalam pengertian sebagai moral, jiwa, dan kepribadian bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia keberadaanya/lahirnya bersamaan dengan
adanya bangsa Indonesia. Selain itu,Pancasila juga berfungsi sebagai
kepribadian bangsa Indonesia. Artinya, jiwa bangsa Indonesia mempunyai arti
statis dan dinamis. Jiwa ini keluar diwujudkan dalam sikap mental, tingkah
laku, dan amal perbuatan bangsa Indonesia yang pada akhirnya mempunyai cirri
khas. Sehingga akan muncul dengan sendirinya harapan optimisme dan motivasi
yang sangat berguna dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.
KESIMPULAN :
Jadi, setiap negara berhak dalam
memilih sistem pemerintahannya sendiri, Indonesia juga pernah menerapkan
beberapa sistem pemerintahan. Namun, yang paling cocok dengan kepribadian
bangsa Indonesia adalah ideologi terbuka karena sinkron dengan sistem
pemerintahan yang demokratis yang menjamin kebebasan warga negaranya dalam mengeluarkan
pendapat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 28.
P A N C A S I L A
I d e o l o g i T e r b u k a
Ideologi Pancasila Kuktur Politik Bangsa Indonesia:
Secara historis dapat dijelaskan, bahwa istilah “ideologi”
adalah berasal dari sejarah Perancis ketika mengalami pencerahan, sebagai
sebuah ilmu penge tahuan tentang hasil pemikiran atau idea manusia, artinya
ideologi merupakan sebuah konsep ilmiah, yang mempergunakan racikan atau pola
empirik maupun logika berfikir rasional. Ideologi dengan demikian sebagai
bagian dari ilmu politik, yang mencoba mempersatukan usaha manusia yang
bersifat politik bagi terben- tuk dan terselenggaranya pemerintahan yang
dianggap baik dan benar.
Pada awal sejarahnya itu, ideologi dianggap sebagai alat
politik yang membawakan pemikiran revolusioner untuk menghancurkan pemerintahan
model lama dengan strukturnya yang dianggap tidak lagi sesuai dengan suasana
baru yang demokratis. Tetapi istilah ideologi atau ideologues pernah mengalami
konotasi negatif sebagai doktrin bukan bersifat ilmiah seperti awalnya yang
bersifat destruktif, oleh pengaruh Revolusi Perancis. Hal ini sebagai pengakuan
ahli politik Perancis : Antoine Revarol (1753-1801) yang mengatakan, bahwa
ideologi telah berubah menjadi doktrin yang destruktif dan ini telah menjadi
kenyataan sejarah bahkan sebagai doktrin yang berbahaya bagi tertib politik
yang baik; ideologi menjadi idea yang berbahaya, karena ingin merobek-robek
tiang-tiang dunia yang ada. Di Perancis pada zaman revolusi itu para pemuda dengan
berteriak keras berusaha merobohkan semua rintangan yang ada, sekalipun dengan
kekerasan, membawa panji-panji ideologi. Memang Revarol hidup di zaman
berkecamuknya revolusi dahsyat.
Setelah itu, terbawa oleh revolusi modern di Inggris,
ideologi memperoleh kembali arti aslinya yang rasional, yakni ketika kaum
Liberal maupun Konservatif, ketika hendak menyerang sebuah doktrin yang mereka
tidak sukai, mereka mengenakan senjata ideologi secara rasional, tidak seperti
di Perancis. Dalam mengritik kaum sosialis misalnya, kaum Liberal menggunakan
ideologi untuk memperbaiki masyarakat. Sebaliknya kaum Sosialis atau Marxis
juga menempuh jalan yang sama, yakni menggunakan ideologi sebagai senjata untuk
menghadapi lawan politik. Walaupun demikian sering kali sifat destruktif
ideologi, sebagai yang disinyalir Antoine Revarol (bukunya, De la Philosophie
Moderne”, Paris 1802) bisa muncul kembali kepermukaan, ketika situasi
pertentangan memanas.
Seorang ahli politik dan sosiologi terkenal Robert Mac Iver,
dalam bukunya “European Ideologies”, New York, Philosophical Library, 1948,
memberikan definisi tentang ideologi sebagai berikut : “ a political and social
ideology is a system of political, economic and social values and idea from
which objectives are derived. These objectives from the nucleus of a political
program” (bahwa ideologi politik dan sosial adalah sebuah sistem nilai dan
pemikiran politik, ekonomi dan sosial, yang memunculkan sasaran-sasaran. Sedang
sasaran-sasaran ini membentuk intisari sebuah program politik). Dengan
pengertian itu, maka ideologi akan memunculkan serangkaian gagasan, berupa
sasaran-sasaran yang dinamis yang bisa mempengaruhi bahkan membimbing masa
depan harapan bisa menentukan nasib masa depan manusia banyak. Definisi
Mac Iver itu mengisyaratkan secara jelas bahwa ideologi hendaknya memiliki
sifat mengatur atau “normatif”, berupa kaidah dasar, disamping juga
memiliki fungsi memberikan “ilham atau inspirasi” bagi pemilik ideologi serta
sifat ideologi haruslah rasional dengan tata logika yang benar, tepat dan
singkat.
Apabila kita hubungkan dengan Pancasila sebagai ideologi,
maka terlihat relevansi yang begitu nyata, bahwa sebagai ideologi, maka
Pancasila adalah sebuah alat politik bangsa Indonesia, untuk mencapai
cita-citanya dalam penyelenggaraan “Negara Bangsa”, bukan sebagai doktrin yang
destruktif sebagai keluhan Revarol, tetapi sebagai sebuah kaidah yang
konstruktif, untuk menciptakan masa depan bangsa yang adil dan bahagia. Bila
mengikuti definisi Mac Iver, maka jelas kiranya bahwa Pancasila memiliki dasar
kebenaran, artinya berkarakteristik “normatif” sebagai dasar negara, memberikan
“inspirasi atau ilham” terus-menerus sebagai pedoman bagi sebuah Weltanschaung
manusia bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sedang prinsip pemikiran atau
“ideas” yang dikandungnya jelas menggunakan “tertib logika yang rasional”,
berarti open to any soiontific debate.
Seterusnya Pancasila sebagai ideologi mampu memberikan skema
yang lengkap bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik,
ekonomi maupun tertib keamanan, berarti sebuah gagasan yang bisa mengilhami
usaha mencapai tujuan atau sasaran luhur manusia berbangsa dan bernegara secara
lengkap. Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya apabila ideologi Pancasila
adalah merupakan “kultur politik bangsa Indonesia”.
Untuk lebih jauh membahas mengenai konotasi ideologi
politik, baiklah kita simak pendapat Profesor Samuel H. Beer, dalam bukunya
yang berjudul “Patterns of Government”, New York 1958, dia membuat deskripsi
tentang watak politik. Watak politik terlihat ketika sebuah masyarakat atau
pemerintahan mengadakan aktivitas, mereka sebenarnya mempertontonkan sebuah
“watak politik”, dan watak ini karena berlaku terus-menerus dalam jangka
panjang, maka terbentuklah apa yang dinamakan “kultur politik”, yang menurut
Beer, kultur ini memiliki tiga komponen penting, yakni (1) nilai, (2)
kepercayaan dan (3) sikap.
Khusus mengenai (1) nilai, Beer membedakan antara (a) nilai
prosedural dan (b) nilai tujuan. Ketika pemerintahan terbentuk atas dasar
ideologi politik yang ada, maka otoritas pemerintahan dijalankan sesuai
prosedur yang disepakati, dengan berpedoman kepada ideologi politik yang
dimiliki, misalnya menjalankan prinsip-prinsip yang demokratis, membentuk
lembaga-lembaga negara, menyelenggarakan Pemilu, dan sebagainya. Ini adalah
“nilai prosedural”. Sedang “nilai tujuan” ialah berupa hasil pekerjaan yang
dijalankan pemerintahan negara, misalnya terwujudnya masyarakat yang
berkeadilan sosial serta berkemakmuran. Selanjutnya mengenai (2) kepercayaan,
Beer menunjuk keinginan rakyat tentang jalannya ideologi politik atau ideologi
politik dalam praktek kenegaraan. Beer membedakan antara “nilai” dengan
“kepercayaan”, bahwa nilai politik adalah berbicara tentang apa “yang
seharusnya” dijalankan atau diwujudkan, sedang kepercayaan politik adalah
berbicara tentang apa adanya, bukannya What ought to be, tetapi What is saja.
Oleh sebab itu sebuah “kepercayaan politik” adalah sebuah
gambaran tentang politik yang hidup dalam masyarakat, berupa adat-kebiasaan,
agama, budaya, tingkah-laku dan seterusnya. Disini kiranya dapat menjelaskan
sejarah, ketika Bung Karno mencoba menggali Pancasila dari bumi Indonesia, maka
dia ketemukan dari lubuk hatinya rakyat Indonesia, yakni telah adanya (What is)
prinsip-prinsip Pancasila, sehingga di sinilah letaknya Pancasila sebagai
“kepercayaan atau keyakinan Politik” bangsa Indonesia. Ini apa adanya, dan
sekaligus sebagai nilai yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan
berbangsa dan bernegara. Berdasarkan analisa Beer tersebut, maka ideologi
Pancasila adalah sekaligus Nilai/Value dan Kepercayaan/Belief. Bisa
dibandingkan dengan pendapat Bung Karno, bahwa Pancasila adalah landasan statis
sekaligus Leidster dinamis.
Komponen (3) Sikap, menurut Beer sikap ini biasanya
sentimentil atau emosional. Ini adalah bawah sadar masyarakat politik. Ujudnya
seperti gunung es hanya tampak sedikit, sedang bagian terbesar tersimpan di
bawah wadar. Dalam sikap politik banyak mengemukakan hal-hal yang bersifat
peranan, misalnya sentimen nasionalisme, yang oleh dorongan ideologi politik
bisa membara apabila tersinggung oleh sebuah kondisi yang menantang, jadi
sifatnya sangat emosional. Namun sebenarnya disini sebagai ukuran apakah sebuah
ideologi politik telah benar berakar dalam kehidupan masyarakat atau belum.
Sikap sentimental yang besar terhadap nasionalisme yang sedang tersinggung
adalah cermin langsung telah menebalnya kultur politik yang dibina oleh
ideologi politik yang ada pada mereka. Sebaliknya tidak adanya reaksi sikap nasional
yang emosional terhadap keterpurukan ideologi tersebut yang timbul dari
masyarakat.
Apabila teori Profesor Beer benar, maka seharusnya Pancasila
sebagai ideologi dan yang diharapkan menjadi kultur politik nasional itu
berparameter “nilai prosedural maupun tujuan, kepercayaan politik dan sekaligus
memiliki sikap sentimental yang tinggi”, sehingga tidak akan tergoyahkan oleh
badai besar maupun yang bisa menimpa bangsa Indonesia, dari manapun datangnya
serta kapanpun.
Pancasila Ideologi Terbuka
Nilai luhur yang terkandung dalam ideologi Pancasila
tentunya perlu implementasi, yang menjalankan adalah seluruh rakyat
warganegara, tanpa aktualisasi maka nilai tersebut tidak mempunyai arti
apa-apa. Disinilah perlunya partisipasi, sedang partisipasi adalah dukungan
nyata. Hal ini memerlukan keterbukaan antar warganegara sendiri, antara yang
kebetulan menjadi penyelenggara negara maupun rakyat jelata, bahkan keterbukaan
sistem politik nasional termasuk ideologi Pancasila sendiri. maka suatu
keharusan adanya ideologi Pancasila yang terbuka. Masyarakat pluralistik
memerlukan keterbukaan sistem, sehingga semua aspirasi mereka dapat tertampung.
Sejarah perjalanan politik sendiri menunjukkan, bahwa sejak berkem- bangnya
pemikiran demokrasi, orang telah mengembangkan keterbukaan di semua aspek
kehidupan, lebih-lebih dalam bidang politik. Karakteristik keyakinan politik
serta kultur politik modern menuntut adanya “perubahan yang terus menerus” bagi
perbaikan hidup manusia. Idealisme kuno yang statis sudah lama ditinggalkan.
Modernisme selalu berisi pemikiran-pemikiran untuk terus maju, kemudian disemua
aspek hidup itu terus berkembang dalam tamansarinya perdamaian, kebebasan,
keadilan, kesejahteraan dan ketentraman, dan menentang serta mengeliminasi semua
bentuk kemiskinan, penindasan, kekerasan, kejahatan, penyakit dan ketidak
tertiban.
Ketika Marquis de Condorcet diguillotine dalam revolusi Perancis, dia lantang
mengumandangkan perbaikan masyarakat untuk terus maju menuju “kesempurnaan” hidup.
Condorcet meninggal, namun idea kemajuan telah dicatat sejarah. Condorcet
yakin, bahwa manusia mampu untuk mencapai perbaikan hidup menuju kesempurnaan
yang tidak terbatas, dengan kemampuan reason yang dimiliki manusia. Di kalangan
umat Nasrani, dalam memasuki zaman modern dan industri, dikembangkan apa yang
dinamakan “Work Ethics” atau etika kerja keras untuk mencapai kesejahteraan
yang maksimal di bumi yang telah diberikan Tuhan bagi manusia. Juga umat Islam
dianjurkan oleh agamanya untuk : Merubah suatu ni’mat yang telah
dianugerahkan-Nya (Allah) kepada sesuatu bangsa, sehingga bangsa itu merubah
apa yang ada pada diri mereka sendiri” (Surat Al-Anfal 53).
Sila-sila dalam Pancasila bisa tetap sebagai landasan statis, namun dalam
menuju nilai tujuan, ideologi Pancasila akan tetap terbuka untuk mencapai
sasaran-sasaran yang dinamis. Tuhan sebagai Maha Pencipta alam semesta saja
membebaskan manusia untuk merubah dan memperbaiki sikapnya di dunia untuk
merubah ni’mat Tuhan kepada posisi yang lebih baik. Maka Pancasila sebagai
ideologi bangsa adalah terbuka bagi pemahaman yang konstruktif untuk mencapai
nilai tujuan yang diciptakan bersama.
Sebagai landasan statis, sebagai istilah Bung Karno, maka sila-sila dalam
Pancasila pun dapat dibahas terbuka secara ilmiah, seperti yang pernah
dikemukakan Prof. Notonegoro dari Universitas Gajah Mada dan pakar-pakar
lainnya secara akademik. Namun sila-sila tersebut nyatanya telah teruji secara
sejarah akan authentisitasnya bersumber dari rakyat, yang dalam istilah Prof.
Beer sebagai “Political Belief”, maka ideologi politik adalah realitas apa
adanya (what is), ini berarti tetap terbuka juga untuk penyelidikan ilmiah
kapan saja. Pendapat Beer ini kelihatan juga tidak jauh dari pandangan pendekar
demokrasi liberal John Locke, ketika mengemukakan prinsip-prinsip ideologis
demokrasi liberalnya, bahwa prinsip itu telah menjadi hukum alam yang tetap,
namun kapanpun orang bisa berdebat tentang itu. Oleh karena itu, Pancasila
sebagai ideologi, baik dilihat dari sandaran “Landasan Statis” maupun sasaran
“Leidster dinamis”, akan tetap terbuka bagi pembahasan yang mendalam atau
deliberatif. Dalam keterbukaan itu orang tidak perlu menakutkan timbulnya
kondisi akan melemahkan posisi maupun eksistensi ideologi bangsa, akan tetapi
justru sebaliknya akan menemukan penguatan kondisi maupun eksistensinya, sebab
sekali lagi sebagai sebuah kultur yang telah memiliki label political belief,
eksistensinya tidak perlu diragukan lagi.
Mungkin perlu sekali lagi kita mendengar pendapat filosuf politik humanitarian
Marquis de Condorcet (1743-1794) yang banyak berpengaruh ketika ideologi
politik sedang banyak diluncurkan di Europa, bahwa manusia akan tetap selalu
menuju kearah “Perfektibilitas”, oleh sebab itu sebuah ideologi politik harus
terbuka untuk menuju ke sana. Perfektibilitas harus dicapai melalui perjuangan
politik, sedang perjuangan untuk pencapaian usaha perbaikan intellektual,
perbaikan moral dan kemampuan fisik, dengan intensifikasi pendidikan di semua
lapisan penduduk.
Bagi masa depan bangsa dan negara, maka tidak ada ruang lain bagi ideologi
Pancasila kecuali tetap membuka diri sebagai ideologi terbuka.
leninisme
selama ini orang menganggap bahwa Marxisme-Leninisme
atau lebih mudahnya komunisme, berada dalam hubungan diametral dengan Islam.
Banyak faktor pendorong kepada tumbuhnya anggapan seperti itu. Secara politis,
umpamanya dalam sejarah yang belum sampai satu abad. Marxisme-Leninisme telah
terlibat dalam pertentangan tak kunjung selesai dengan negara-negara (dalam
artian pemerintahan negara bangsa atau nation state), bangsa-bangsa, dan
kelompok-kelompok muslim di seluruh dunia.
Dalam Peristiwa Madiun, 1948, umpamanya, kaum
muslimin Indonesia berdiri berhadapan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)
karena dua alasan. Pertama, karena PKI di bawah pimpinan Muso berusaha
menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia yang didirikan oleh bangsa yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Kedua, karena banyak pemuka agama Islam
dan ulama yang terbunuh, seperti kalangan pengasuh Pesantren Takeran yang hanya
terletak beberapa kilometer di luar kota Madiun sendiri. Kiaya Mursyid dan
sesama kiai pesantren tersebut hingga saat ini belum diketahui di mana
dikuburkan.
Percaturan geo-politik saat ini pun menghadapkan Uni
Soviet, kubu pertama paham Marxisme-Leninisme kepada Dunia Islam, karena
pendudukannya atas bangsa muslim Afghanistan semenjak beberapa tahun lalu.
Selain itu, secvara ideologis, Marxisme-Leninisme juga tidak mungkin
dipertemukan dengan Islam. Marxisme-Leninisme adalah doktrin politik yang
dilandaskan pada filsafat materialisme. Sedangkan Islam betapa pun adalah
sebuah agama yang betapa praktisnya, sekalipun dalam urusan keduniaan, masih
harus mendasarkan dirinya pada spiritualisme dan kepercayaan akan sesuatu yang
secara empiris sudah tentu tidak dapat dibuktikan.
Apalagi Marxisme-Leninisme adalah pengembangan
ekstrem dari filsafat Karl Marx yang justru menganggap agama sebagai opium
(candu) yang akan melupakan rakyat dari perjuangan strukturalnya untuk merebut
alat-alat produksi dari tangan kaum kapitalis. Demikian pula dari skema
penataan Marxisme-Leninisme atas masyarakat, Islam sebagai agama harus
diperlakukan sebagai super struktur yang dibasmi, karena “merupakan bagian dari
jaringan kekuasaan reaksioner yang menunjang kapitalisme”, walaupun dalam
dirinya ia mengandung unsur-unsur antikapitalisme.
Atau dengan kata lain, yang menjadi bagian inti dari
doktrin Marxisme-Leninisme, Islam adalah “bagian dari kontradiksi internal
kapitalisme”. Dialektika paham tersebut memandang pertentangan antara Islam dan
kapitalisme hanya sebagai pertentangan subsider dalam pola umum pertentangan
antara kaum proletar melawan struktur kapitalisme yang didirikan oleh kaum
feodal.
Sebuah asoek lain dari pertentangan ideologis antara
Islam dan Marxisme-Leninisme dapat dilihat pada fungsi kemasyarakatan
masing-masing. Dalam kerangka ini, Marxisme-Leninisme berusaha mengatur
kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh atas wawasan-wawasan rasional belaka,
sedangkan Islam justru menolak sekulerisme seperti itu.
Menurut ajaran formal Islam, pengaturan kehidupan
bermasyarakat harus diselaraskan dengan semua ketentuan-ketentuan wahyu yang
datang dari Allah. Pengaturan hidup secara revelational (walaupun memiliki
wawasan pragmatis dan rasionalnya sendiri untuk dapat menampung aspirasi
kehidupan nyata), bagaimanapun juga tidak mungkin akan berdamai sepenuhnya
dengan gagasan pengaturan masyarakat secara rasional sepenuhnya.
Tidak heranlah jika pengelompokan politik dan sosial
budaya yang memunculkan apa yang dinamai “golongan Islam” juga menggunakan pola
penghadapan dalam meletakkan Marxisme-Leninisme dalam hubungannya dengan Islam.
Seperti dalam forum yang melawan dan menentangnya.
Forum-forum formal Islam sendiri juga demikian,
senantiasa meletakkan Marxisme-Leninisme dalam hubungannya dengan Islam.
Seperti dalam forum yang melawan dan menentangya.
Forum-forum formal Islam sendiri juga demikian,
senantiasa meletakkan Marxisme-Leninisme dalam kategori “ideologi lawan”. Atau
dalam jargon Rabithah al-Alam al-Islami/Islamic Word Association) yang
berkedudukan di Makkah, “ideologi yang menentang Islam (al-fahm al-mudhadli
al-islami).” Dalam forum-forum resmi internasional di kalangan kaum muslimin,
Marxisme-Leninisme dalam “baju” komunisme secara rutin dimasukkan ke dalam
paham-paham yang harus ditolak secara tuntas.
Sikap demikian dapat juga dilihat pada karya-karya
tulis para pemikir, ideolog, dan budayawan yang menjadikan Islam sebagai
kerangka acuan dasar untuk menata kehidupan (dalam arti tidak harus dalam
bentuk negara theokratis atau secara ideologis formal dalam kehidupan negara,
tetapi sebagai semangat pengatur kehidupan). Para penulis “pandangan Islam” itu
memberikan porsi panjang lebar kepada penolakan atas ideolgi dan paham
Marxisme-Leninisme dalam karya-karya mereka.
Penolakan ini antara lain berupa sikap mengambil
bentuk peletakan “pandangan Islam” sebagai jalan tengah antara kapitalisme dan
komunisme atau menurut istilah Mustofa al-Siba’I, antara kapitalisem dan sosialisme.menurut
pandangan mereka, kapitaisme akan membawa bencana karena terlalu mementingkan
kepentingan perorangan warga masyarakat, karena sandarannya kepada
inividualisme. Sedangkan kolektivisme yang menjadi ajaran Marxisme, diserap
oleh Marxisme-Leninisme, justru akan menghilangkan hak-hak sah dari individu
yang menjadi warga masyarakat. Islam menurut mereka memberikan pemecahan dengan
jalan menyeimbangkan antara “hak-hak masyarakat” dan “hak-hak individu”.
Melihat pola hubungan diametral seperti itu memang
mengherankan. Bahwa masih saja ada kelompok-kelompok Marxis-Leninis dalam
masing-masing lingkungan bangsa muslim mana pun di seluruh dunia. Bahkan di
kalangan minoritas muslim di negara yang mayoritas penduduknya beragama bukan
Islam, seperti Sri-Lanka, Filipina. Bukan karena adanya orang-orang yang
berpaham Marxis-Leninis. Karena memang mereka ada di mana-mana.
Tambahan pula, keadaan masyarakat bangsa-bangsa yang
memiliki penduduk beragama Islam dalam jumlah besar memang membuat subur
pertumbuhan paham itu. Secara teoritis, karena besarnya kesenjangan antara
teori kemasyarakatan yang terlalu meuluk-muluk yang ditawarkan dan kenyataan
menyedihkan akan meluaskan kemiskinan dan kebodohan. Yang menarik justru
kenyataan bahwa oleh pemerintah negara-negara berpenduduk mayoritas muslim,
(kecuali sudah tentu di Indonesia. Kalaupun dilarang, maka bukan karena paham
itu sendiri tidak dibarkan secara hukum neagara, melainkan karena di lingkunagn
bangsa itu tidak diperkenankan adanya gerakan politik dari rakyat sama sekali,
seperti Arab Saudi saat ini.
Yang lebih menarik lagi justru adalah terus-menerus
adanya upaya untuk meramu ajaran Islam kepada atau dengan paham-paham lain,
termasuk Marxisem. Seperti yang saat ini dilakukan dengan giatnya oleh Muammar
Khadafi, pemimpin Lybia yang berperilaku eksentrik itu. Ternyata upaya tersebut
tidak terbatas pada “penggalian” konsep konsep Marx yang nonkomunistis saja,
tetapi juga mencapai “pengambilan” dari Marxisme-leninisme.
Secara formal, paham tersebut di larang di Lybia.
Tetapi secara faktual banyak unsur-unsur Marxisme-Leninisme ke dalam doktrin
politik Khadafi. Umpanya saja, pengertian “kelompok yang memelopori revolusi,’
yang jelas berasal dari konsep Lenin tentang pengalihan pemerintah dari
kekuasaan kapitalisme (tidak harus yang berwatak finansial-industri, tetapi
cukup yang masih berwatak agraris belaka). Demikian juga konsep “pimpinan
revolusi”, yang dicanangkan sebagai “dewan-dewan rakyat” (al-jamariyah) sebagai
satu-satunya kekuatan “pengawan revolusi” dari kemunkginan direbut kembali oleh
kapitalisme internasional.
Fenomena upaya meramu unsur Marxisme-Leninisme ke
dalam teori politik yang ditawarkan sebagai “ideolgoi Islam” sangat menarik
untuk dikaji, karena bagaimanapun ia mengandung dua spek. Pertama, ia tidak
terbatas pada kalangan eksentrik seperti Khadafi, tetapi juga di kalangan
sujumlah pemikir muslim serius, semisal Abdel Malek be beNabi dan Ali
Syari’ati. Saat ini pun, gerakan Mojaheddin eKhalq yang bergerak di bawah tanah
di Iran dan dipimpin oleh Masoud Rajavi dari Paris, menggunakan analisis
perjuangan kelas yang mengikuti acuan Marxisme-Leninisem. Kedua, kenyataan
bahwa upaya “meramu” tersebut sampai hariu ini masih mampu mempertahankan warna
agamanya yang kuat. Bukan proses akulturasi yang muncul, di mana Islam
dilemahkan, melainkan sebaliknya, terjadi penguatan ajaran-ajarannya melalui
“penyerapan sebagai alat analisis”.
Keseluruhan yang dibentangkan di atas menghendaki
adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam danMarxisme-Leninisme, yang
akan membawa kepada pemahaman yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret
akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebnagai
ajaran kemasyarakat dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik.
Pemahaman dan pengertian seperti itu akan
memungkinkan antisipasi terhadap peluang bagi terjadinya “titik sambung”
keduanya dinegeri ini. Antisipasi mana dapat saja digunakan, baik untuk
mencegahnya maupun mendorong kehadirannya.
Salah satu cara untuk melihat titik-titik persamaan
antara Islam dan Marxisme Leninisme, keduanya sebagai semacam “ajarab
kemasyarakatan” (untuk meminjam istilah yang populer saat ini di kalangan
sejumlah theolog Katolik yang menghendaki perubahan struktural secara mendasar)
adalah menggunakan pendekatan yang disebut sebagai vocabularies of motive
(keragaman motif) oleh Bryan Turner dalam bukunya yang terkenal, Weber and
islam (hlm. 142).
Menurut pendekatan in, tidak ada satu pun motif
tunggal dapat diaplikasikan secara memuaskan bagi keseluruhan perilaku kaum
muslimin sepanjang sejarah mereka. Kecenderungan “agama” seperti tasawuf
(mistisisme), syariat (legal-formalisme), dan akhlak (etika sosial), dalam
hubungannya dengan kecenderungan “ekonomis”, seperti semangat dengan etos kerja
agraris, pola kemiliteran dan asktisme politis, ternyata menampilkan banyak
kemungkinan motivatif bagi perilaku kaum muslimin itu. Walaupun pendekatan itu
oleh Turner dipakai justru untuk mencoba melakukan pembuktian atas kaitan
antara Islam dan kapitalisme, bagimanapun juga penggunaannya sebagai alat untuk
meneliti kaitan antara Islam Marxisme-Leninisme akan membuahkan hasil kajian
yang diharapkan.
Umpamanya saja, pendekatan ini dapat mengungkapkan
adanya kesamaan orientasi antara pandangan kemasyarakatan Marxisme-Leninisme
yang bersumber pada kolektivisme dan tradisi kesederhanaan hierarki dalam
masyarakat suku yang membenntuk masyarakat Islam yang pertama di Madinah di
zaman Nabi Muhammad.
Kesamaan orientasi tersebut dapat dilihat pada
besarnya semangat egalitarianisme dan populisme dalam kedua sistem kehidupan
itu. Orientasi kehidupan seperti itu mau tidak mau akan membawa sikap untuk
cenderung menyusun pola kehidupan serba senang kepada tindakan
(action-oriented), dan menjauhi kecenderungan kontemplatif dan meditatif.
Orientasi kepada tindakan ini demikian kuat terlihat
dalam kehidupan masyarakat Islam, sehingga keimanan dan tuntasnya keterlibatan
kepada ajaran agama (dikenal dengan nama Rukun Islam) sepenuhnya diidentifisir
dengan “tindakan”. Dari syahadat (pengakuan akan keesaan Allah dan kerasulan
Muhammad), salat, zakat, puasa, hingga kewajiban menjalankan peribadatan haji.
Walaupun Marxisme bersandar pada ajaran
determinisme-materialistik (dalam jargon sosialisme dikenal dengan nama
historis-materialisme), dan dengan demikian Marxisme-Leninisme mendasarkan
idiologinya sampai titik tertentu pada acuan tersebut, tetapi orientasinya
kepada “sikap aksional” tetap tampak sangat nyata. Justru acuan deterministik
yang mendorong kaum Marxis termasuk Marxis-Leninis, untuk mempersoalkan struktur
kekuasaan dan tindakan terprogram dalam memperjuangkan dan kemudian
melestarikan struktur masyarakat yang mereka anggap sebagai bangunan kehidupan
yang adil.
Orientasi inilah yang “menghubungkan” antara Islam
dan Marxisme-Leninisme, menurut versi pikiran orang-orang seperti Khadafi dan
Masoud Rajavi. Walaupun secara prinsipiil mereka menentang komunisme sebgai
ideologi dan memenjarakan pemimpin-pemimpin komunis serta melawan mereka dalam
bentrokan-bentrokan fisik.
Berbeda dengan mendiang Jamal Abdul Nasser dari
Mesir, yang berideologi sosialistik dan sedikit banyak dapat mentolerir
kehadiran pemimpin-pemimpin komunis, seperti Mustafa Agha di negerinya, walupun
sering juga ditahan kalau ternyata masih melakukan aktivitas yang dinilainya
subversif. Sikap Nasser ini juga diikuti oleh kedua rezim sosialis Ba’ath
(kebangunan) yang berkuasa di Irak dan Syiria sekarang ini.
Sebuah perkecualian menarik dalam hal ini, karena perbedaan ideologis yang ada dapat “dijembatani” oleh kesamaan orientasi di atas adalah kasus Parta Tudeh di Iran. Pertai yang nyata-nyata berideologi Marxis-Leninis itu ternyata hingga saat ini masih dibirakan hidup oleh rezim revolusi Islam di Iran, walaupun gerakan gerilya Fedayen E-Khalq yang juga Marxis-Leninis justru ditumpas dan dikejar-kejar.
Sebuah perkecualian menarik dalam hal ini, karena perbedaan ideologis yang ada dapat “dijembatani” oleh kesamaan orientasi di atas adalah kasus Parta Tudeh di Iran. Pertai yang nyata-nyata berideologi Marxis-Leninis itu ternyata hingga saat ini masih dibirakan hidup oleh rezim revolusi Islam di Iran, walaupun gerakan gerilya Fedayen E-Khalq yang juga Marxis-Leninis justru ditumpas dan dikejar-kejar.
Ternyata kesamaan orientasi populistik dan
egalitarian anatara ideologi Islam dan Marxis-Leninisme dihadapan lawan bersama
imperialisme Amerika Serikat menurut jargon mereka, mengandung juga beneh-benih
kontradiksi interen antara kaum mula dan kaum Marxis-Leninis Iran, selama yang
terakhir ini tidak mengusik-usik kekuasaan Partai Republik Islam, selam itu
pula mereka ditolerir.
Dari sudut pandangan ini, sikap kaum muslimin
Indonesia yang menolak kehadiran Marxisme-Leninisme melalui ketetapan MPR
adalah sebuah anomali, yang hanya dapat diterangkan dari kenyataan bahwa telah
dua kali mereka dikhianati oleh kaum komunis di tahun 1948 dan 1965. Penolakan
dengan demikian berwatak politis, bukannya ideologis.
Hal ini menjadi lebih jelas, jika diingat bahwa kaum
muslimin Indoesia sudah tidak lagi memiliki aspirasi mereka sendiri di bidang
ideologi, tetapi meleburkannya ke dalam ideologi “umum” bangsa, Pancasila.
Kenyataan seperi ini memang jarang dimengerti,
karena tinjauan yang dilakukan selama ini atas hubungan Islam dan
Marxisme-Leninisme sering sekali bersifat dangkal, melihat persoalannya dari
satu sisi pandangan saja, itu pn yang bersifat sangat formal. Wajar sekali
kalau kaitan dengan Marxisme-Leninisme tidak diakui secara formal di kalangan
gerakan-gerakan Islam, tetapi diterima dalam praktek. Seperti wajarnya”garis
[partai” yang menolak kehadiran agama di negara-negara komunis, tetapi dalam
praktek diberikan hakmelakukan kegiatan serba terbatas.
Melihat kenyataan di atas, menjadi nyata bagi mereka
yang ingin melakukan tinjauan mendalam atas Maexisme-Leninisme dari sudut
pandangan Islam. Bahwa harus dilakukan pemisahan antara sikap Islam yang
dirumuska dalam ajaran resmi keagamaannya dan “sikap Islam” yang tampil dalam
kenyataan yang hidup dalam bidang politik dan pemahaman secara umum.
Banyak pertimbangan lain yang mempengaruhi hubungan
antara Islam dan Marxisme-Leninisme dalam praktek, sehingga tidak dapat begitu
saja digeneralisasi tanpa mengakibatkan penarikan kesimpulan yang salah.
Demikian juga, dalam melihat kaitan dalam praktek kehidupan pemeintahan,
tidaklah cukup kaitan itu sendiri diidentifikasikan sebagai sesuatu yang sumir
dan berdasarkan kebutuhan taktis belaka, seperi yang disangkakan pihak Amerika
Serikat atas hubungan Khadafy dan Uni Soviet. Karena sebenarnya yang terjadi
adalah proses saling mengambil antara dua ideologi besar, tanpa salah satu
harus mengalah terhadap yang lain. Betapa tidak permanennya hubungan itu
sekalian, karena keharusan tidak boleh mangalah kepada ideologi lain, kaitan antara
Islam dan Marisme-Leninisme memiliki dimensi ideologinya sendiri. Yaitu
kesamaan sangat besar dalam orientasi perjuangan masing-masing.
Kalau diproyeksikan terlebih jauh ke masa depan,
bahkan akan muncul varian lain dari pola hubungan yang telah ada itu. Yaitu
dalam hasil akhir ideologis dari upaya yang sedang dilakukan sejumlah
intelektual muslim untuk mendalami sumber-sumber ajaran Islam melalui analisis
pertentangan kelas yang menjadi “merek dagang” Maxisme-Leninisme
Ayat-ayat Al-Qur’an, ucapan nabi dalam hadits dan
penjelasan ulama dalam karya-karya mereka diperiksa kembali “wawasan
kelas”-nya, digunakan sudut pandangan sosial-historis untuk melakukan penfsiran
kembali atas “pemahaman salah” akan sumber-sumber ajaran agama itu.
Zakat sebagai salah satu Rukun Islam, umpamanya,
dilihat secara kritis sebagai alat populistik untuk menata orientasi
kemasyarakat kaum muslimin dalam pengertian struktural. Lembaga tersebut
diwahyukan dengan beban terbesar atas penyelenggaraan hidup bermasyarakat pada
pundak lapangan pertanian sebagai profesi kaum elite Madinah waktu itu (karena
membutuhkan masukan modal sangat besar, tidak seperti usaha dagang
kecil-kecilan di pasar yang menjadi kerja utama kebanyakan penduduk Madinah).
Pendekatan struktural dalam menafsirkan kembali ajaran agama itu bagaiamanapun
akan membawa kepada kesadaran akan pentingnya analisis perjuangan kelas untuk
menegakkan struktur masyarakat yang benar-benar adil dalam pandangan Islam.
Di pihak lain, semakin berkembangnya pemahaman
“humanis” atas Marxisme-Leninisme, seperti dilakukan Partai Komunis Itali
dewasa ini akan membawa apresiasi lebih dalam lagi tentang pentingnya wwaasan
keagamaan ditampung dalam perjuangan kaum Marxis-Leninis untuk menumbangkan struktur
kapitalis secara global.
Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh sejumlah
teoritisi Marxis-Leninis sejak dasawarsa tigapuluhan dari abad ini, semisal
Gramsci. Sudah tentu akan muncul aspek kesamaan orientasi kemasyarakatan antara
Islam dan Marxisme-Leninisme dengan dilakukan kajian-kajian di atas yang antara
lain sedang dilakukan oleh Mohammad Arkoun dan Ali Merad, yang dua-duanya kini
tinggal di Delik
Ideologi Bisa Diterapkan dengan Persyaratan Ketat Konsultasi Publik RUU KUHP
[5/7/07] Yang dikriminalisasi mestinya bukan pada penyebaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, tetapi pada ideologi apapun yang melegalkan kekerasan.
[5/7/07] Yang dikriminalisasi mestinya bukan pada penyebaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, tetapi pada ideologi apapun yang melegalkan kekerasan.
Konsultasi Publik RUU KUHP hari pertama membahas antara lain
tindak pidana yang menyangkut ideologi. Dalam konsultasi publik itu terungkap
bahwa tadinya KUHP Belanda tidak mengenal delik ideologi. Tetapi kemudian
setelah KUHP diberlakukan di Indonesia, delik-delik semacam itu muncul. Sebagai
konsekuensi TAP No. XXV/MPRS/1966, tim perumus awal RUU KUHP kembali
mempertahankan delik idelogi. Bahkan berlanjut ke rumusan RUU KUHP pasca
reformasi sebagai konsekuensi TAP No. XVIII/MPR/1998 tentang Penegasan
Pancasila Sebagai Dasar Negara.
Delik ideologi masuk kategori tindak
pidana terhadap keamanan negara. Kejahatan terhadap ideologi dalam RUU KUHP
dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme
(pasal 212-213), serta peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila (pasal
214).
Menurut Fajromei A. Ghofar, secara
umum rumusan pasal-pasal kejahatan terhadap ideologi masih memiliki sejumlah
hal yang perlu dikritisi. Misalnya perumusan pasal, akibat buruknya terhadap
hak asasi manusia, dan pengertian dari istilah yang dipakai. “Perumusan pasal
212-213 RUU KUHP masih ambigu,” ujarnya.
Ambigu yang dimaksud Ghofar adalah
kesamaran mengenai apa sebenarnya yang dilarang. Kedua pasal melarang
penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme – Leninisme yang menggantikan atau
mengubah Pancasila. Sebenarnya yang dilarang apakah penyebaran ajaran
komunisme/Marxisme-Leninisme atau tindakan mengubah Pancasila? “Secara kasat mata,
perumusan pasal tersebut dapat diartikan bahwa mengembangkan ajaran
komunisme/Marxisme-Leninisme tidaklah merupakan perbuatan yang dilarang jika
tidak ditujukan untuk mengubah Pancasila,” kata Ghofar.
Pakar hukum pidana Prof. Andi Hamzah
menimpali, tak semua penyebaran ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme dilarang.
“Seorang dosen yang mengajarkan teori Karl Marx, misalnya teori dialektika,
tidak termasuk melakukan delik,” ujarnya.
Untuk masuk kategori delik atau
tindak pidana, penyebaran itu harus bersifat ‘melawan hukum’ dan
‘dilakukan di muka umum’ (in openbaar). Masih belum cukup, unsur lain
yang dinilai Prof. Andi sebagai inti delik adalah “dengan maksud mengubah atau
mengganti Pancasila sebagai dasar negara’. Dengan unsur yang ketat seperti itu,
Prof. Andi menyimpulkan bahwa rumusan delik larangan penyebaran
komunisme/Marxisme-leninisme dalam RUU KUHP sesungguhnya sangat dibatasi.
“Delik ideologi dapat saja diterapkan dengan unsur atau bagian inti yang sangat
ketat,” ujar Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti itu.
Namun Ghofar masih mengkritik sifat
unsur melawan hukum dalam pasal 212, terutama mengenai arti dan
syarat-syaratnya. Perbuatan menyebarkan komunisme bagaimana yang disebut
melawan hukum? Lalu, apakah semua ajaran Marxisme – Leninisme dilarang atau
hanya bagian tertentu? Karena itu, Ghofar masih khawatir delik ideologi dalam
RUU KUHP akan menjadi pasal karet.
Kritik lain datang dari Abdul Hakim
Garuda Nusantara. Ketua Komnas HAM ini menilai RUU KUHP dalam konteks delik
ideologi ‘tidak tanggap terhadap tanda-tanda zaman’. Salah satunya, ya,
pelarangan komunisme/Marxisme-Leninisme. Semangat yang harusnya dibangun adalah
mengkriminalisasi ideologi apapun –tidak terbatas pada Marxisme-Leninisme—yang
membenarkan cara-cara kekerasan untuk menempuh sesuatu. Kejahatan terhadap
keamanan negara bukan hanya datang dari ideologi semacam itu, tetapi juga bisa
dari ideologi lain yang menyebarkan kekerasan. Seharusnya konsep kekerasannya
yang harus dikriminalisasi.
0 komentar:
Post a Comment